RESTI PUSPA RINI

RESTI PUSPA RINI

Kamis, 26 Mei 2016

Perbedaan Pendapat Para Ulama Terhadap Sumber Hukum Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam adalah Al-quran, sunnah, ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, ‘urf, istishhab, dan syar ‘u man qablana. Secara umum, sumber hukum Islam ada yang disepakati ( muttafaq ‘ alaih atau mujma alaih ) dan ada yang diperselisihkan ( mukhtalaf fih ). Sumber yang keasliannya telah terbukti yang datangnya langsung dari Allah atau yang telah disepakati oleh para ulama yaitu Al-quran dan sunnah atau hadist, sedangkan sumber hukum selain Al-quran dan hadist hingga saat ini masih dalam perselisihan para ulama. Berikut adalah beberapa sumber hukum Islam yang akan diuraikan satu persatu dibawah ini.

1.      Al-quaran
Al-quran adalah wahyu yang diturunkan langsung dari Allah melalui malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW.oleh karena itu tidak ada perselisihan antara ulama tentang Al-quran melalui eksistensinya atau keberadaannya. Karena hal itu sudah jelas kedatangannya. Sebagai kitab suci sepanjang zaman, Al-quran memuat informasi dasar berbagai masalah termasuk informasi mengenai hukum, etika, science, antariksa, kedokteran dan sebagainya.hal ini merupakan salah satu bukti bahwa kandungan Al-quran bersifat luas dan luwes. Sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama, Al-quran berperan penting dalam rangka penetapan hukum Islam terutama setelah meninggalnya Rasullullah SAW.
Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang dalalah-nya bersifat zhanni. Misalnya, suatu kata mempunyai makna lebih dari satu yang disebut dengan lafal musytarak. Misalnya :



Dan bagimu ( suami-suami ) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu. Jika mereka tidak mempunyai anak. ( Q,S Al-Nisa 4 : 12 )



Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik ( berbuat zina ) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka ( yang menuduh itu ) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik ( Q,S Al-Nur 24 : 4 )

Dua ayat telah jelas dalam hal penjelasannya tentang hukuman bagi mereka yang telah menuduh seorang wanita tanpa bukti yang jelas maka mendapatkan pukulan sebanyak delapan puluh kali pukulan. Dan juga, pembagian harta dalam perspektif Islam yang baik.
Akan tetapi, dalam ayat-ayat berikut, ulam berbeda pendapat.


Wanita-wanita yang duduk hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru’. ( Q.S Al-Baqarah 2 : 228 )

Imam Malik dan Al-Syafi’i mengartikan quru’dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haid. Hal serupa juga terjadi pada ayat berikut.




Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ( suci ), sapulah mukamu dan tanganmu. ( Q.S Al-Nisa 4 : 43 )

Ulama berbeda pendapat mengenai kata menyentuh.ImamMalik mengartikannya dengan pergaulan suami-istri. Sementara itu, Imam Al-Syafi’I mengartikannya dengan persentuhan kulit antara laki-laki perempuan yang bukan mahram tanpa ada sesuatu yang menghalanginya. Dengan perbedaan pendapat tersebut, berpengaruh pada ketetapan hukum.[1]
Perbedaan masalah quru’ pada wanita, Allah Maha tahu mengenai perbedaan ini. Namun Allah SWT tidak mengatakan dengan sharih apa yang dimaksudkan dengan kata-kata quru’. Kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata quru yang mengandung dua arti secara bahasa Arab. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata quru’ sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT dengan hikmah-Nya memang menghendakinya adanya perbedaan pendapat dikalangan para mujtahid dalam masalah itu.
Akibat perbedaan lafaz quru’ ini, sebagian sahabat ( Ibnu Mas’ud dan Umar ) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yang ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yang lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya ( meskipun belum mandi ). Lihatlah, bahkan para sahabat nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini.

2.      Sunnah
Ulama sepakat bahwa sunnah sumber tasyri’ yang kedua setelah Al-quran. Dalam sunnah juga terdapat teks yang tegas dan teks yang tidak tegas. Demikian juga dalam proses periwayatan hadist mutawatir yang disepakati ulama sebagai sumber hukum.diantara para ulama ada yang menolak hadis ahad, karena tidak memberikan faedah ilmu. Berbicara mengenai hal ini, imam Al-Syafi’i berpendapat sebagai berikut.
a.       Hadis yang diriwayatkan orang banyak dari orang banyak disebut hadis mutawatir.
b.      Jika terjadi perbedaan penakwilan kitab maka dikembalikan makna lahir dan umum, kecuali jika ada ijma’ ulama.
c.       Jika terjadi perbedaan, dikembalikan kepada kesepakatan kaum muslimin dan periwayatan ijma’ kaum sebelumnya.
d.      Periwayatan orang khusus ( hadis ahad ) dijadikan hujjah jika aman dari kesalahan.[2]

Sementara itu, Abu Hanifah menerima hadis ahad dengan menerapkan persyaratan yang ketat. Ia dan fuqahanya mensyaratkan sebagai berikut.
a.       Hadis tidak berkaitan dengan masalah ujian atau urusan umum ( ‘umum al-balwa ), sebab yang demikian harus diriwayatkan secara mutawatir.
b.      Amal periwayat tidak kontradiktif dengan periwayatannya. Namun jika ternyata kontradiktif, maka yang dipakai adalh pengamalannya.
c.       Jika periwayat tidak faqih, hadis menyalahi qiyas dan kaidah-kaidah syara’.
d.      Hadis tidak menyalahi teks Al-quran, hadis mutawatir, dan ijma’.
Ulama Hanafiyah menolak hadis ahad tentang menyentuh alat vital serta mengangkat kedua tangan kedua ketika akan dan bangun dari ruku’, karena masalahnya harus diketahui umum. Mereka juga menolak hadis Aisyah tentang keharusan wali dalam nikah, karena ia sendiri tidak mengamalkannya. Ketika putri Abdurrahman bin Abu Bakar dinikahkan, ayahnya sedang berada di Syam. Mereka juga menolak hadis Sa’ad  bin Abi Waqqash tentang jual-beli kurma kering dengan kurma basah, karena ia tidak dianggap faqih.
Ulama berbeda dalam menerima sunnah sebagai sumber hukum Islam. Berikut ini penjelasannya.
a.       Abu Hanifah dan ashhab-nya hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur kemudian menarjihkan hadis-hadis dari fuqaha kepercayaan.
b.      Imam Malik dan ashhab-nya menarjihkan hadis-hadis yang diriwayatkan ulama Madinah dan meninggalkan hadis ahad yang menyalahi amalan penduduk Madinah.
c.       Imam-Imam lain berhujjah dengan hadis yang diriwayatkan perawi yang adil dan terpercaya, dari kalangan fuqaha atau bukan, baik sesuai dengan amalan penduduk Madinah maupun tidak.
d.      Ulama Irak menempatkan hadis masyhur di tempat mutawatir sebagai penakhsis dan pen-taqyid Al-quran, sementara ulama lain tidak.
e.       Sebagian ulama tasyri’ berhujjah dengan hadis mursal, sedangkan yang lain tidak.
Dasar perbedaan tentang status hadis di kalangan Imam mujtahid berpokok pangkal pada tiga persoalan, yaitu :
a.       Perbedaan dalam penetapan sumber perundang-undangan
b.      Perbedaan dalam pengmbilan hokum dari perundang-undangan, dan
c.       Perbedaan dalam sebagian prinsip bahasa yang diterapkan.
Sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah SAW. Yang menonjol antara lain :
a.       Perbedaan dalam penerimaan hadis. Sampai atau tidaknya suatu hadis kepada sebagian sahabat.seperti dima’lumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan ( meriwayatkan hadis ), kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majelis Rasul, tentunya mereka inilah yang banyak menerima hadis sekaligus meriwayatkannya.
b.      Perbedaan dalam menilai periwayatan hadis  ( shahih atau tidaknya ) adakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadis shahih, sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.contoh dari segi sanad, adalah seperti hadis yang dijadikan dasar oleh Imam Syafi’i tentang wajibnya membaca Al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat.
c.       Perbedaan tentang kedudukan Rasulullah SAW, sebagaimana dimaklumi, bahwa Rasul disamping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa ( Q.S Al-Kahfi : 110 ). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai kepala Negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya.
Para mujtahid Irak, yaitu Abu Hanifah dan kawan-kawannya hanya berhujjah dengan sunah mutawatir dan sunnah masyhur saja. Syiah hanya menerima hadis yang diriwayatkan oleh para Imam mereka, karena menurut mereka orang yang tidak mendukung Ali tidak tsiqah ( tidak dapat dipercaya ).

3.      Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi mengenai hukum suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, ulama mengkaji masalah tersebut dan menyepakati hukumnya.
Ijma’ merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-quran dan hadis. Akan tetapi, mazhab Al- Zhahiriyyah menolak hal tersebut. Alasannya adalah bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi dikalagan fuqaha karena ketentuan yang ada di dalam Al-quran dan hadis telah mencakup segala segmen kehidupan manusia. Menurut Al-Syafi’i, ijma’ hanya terjadi pada hal yang diketahui secara umum, seperti shalat fardhu. Ia juga berhujjah dengan periwayatn hokum dari ulama salaf. Sementaa itu, Imam Ahmad bin Hanbal tetap mengakui adanya ijma’, tetapi khusus pada masa sahabat. Ulama Hanafiyah banyak menyebut ijma’sukuti. Maknanya yaitu seorang menjawab dan yang lain diam, tetapi berpendapat yang sama.
Sekalipun sebagian kelompok ada yang menolak kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum Islam, namun argumen-argumen yang mereka ajukan kurang kuat. Kelompok yang menolak adalah Syiah, Khawarij, dan sebagian Mu;tazilah. Mereka menolak ijma’ karena :
a.       Tempat tinggal para ulama mujtahid berjatuhan
b.      Tidak seluruh ulama mujtahid tersedia, dan
c.       Tidak ada kesepakatn tentang siapa sebenarnya ulama mujtahid itu.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah zhanni, bukan qoth’i. oleh karena itu ijma’ hanya dapat dipergunakan sebagai pegangan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai sebagai pegangan dalam bidang akidah ( I’tiqad ), sebab urusan aqidah hanya berdasarkan dalil yang qath’i.[3]

4.      Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada teksnya didalam Al-quran dan hadis, tetapi mempunyai alasan ( illat ) yang sama. Dengan kata lain, membandingkan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain ynag sudah ada ketentuan hukum atau dasar persamaan ‘illat.
Mayoritas ulama menetapkan bahwa qiyas merupakan sumber hukum Islam yang keempat. Meskipun demikian, ada juga ulama yang tidak mengakui qiyas, seperti ulama Zhahiriyyahdan sebagian dari ulama Syiah. Argumen yang diajukan oleh golongan penentang qiyas bukan berarti bahwa qiyas tidak dapat dilepaskan dari pembinaan hukum Islam, sebab seiring dengan berjalannya waktu senantiasa muncul problem baru yang tidak ditemukan nashnya dalam Al-quran dan hadis.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih paham. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok :
a.       Kelompok jumhur. Mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum dari hal-hal yang tidak jelas nashnya, baik dalm Al-quran, hadis, pendapat sahabat, maupun ijma ulama.
b.      Mazhab Zhahiriyyah dan Syiah Imamiyyah. Mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiriyyah tidak mengakui adanya ‘illat serta tidak berusaha mengetahi sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya, guna menetapkan suatu kepastian hukum. Mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.adapun Syiah Imamiyyah memperluas pemakaian qiyas karena adanya persamaan ‘illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai penakhsis dari keumuman Al-quran  dan hadis.
Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum mendapatkan tanggapan yang beranggapan dikalangan ulama ushul fiqh.
a.       Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum syara’.
b.      Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam Al- syawkani, bahwa secara logika, qiyas memang diperbolehkan, tetapi tidak ada satu nash pun dalam Al-quran yang menyatakan wajib melaksanakannya.
c.       Pendapat Syiah Imamiyyah dan Al- Nzhzhamm dariMu’tazilah, berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
d.      Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah.

5.      Istihsan
Istihsan artinya memandang lebih baik. Istihsan menentukan hukum bukan berdasarka qiyas yang jelas, melainkan berdasarkan qiyas yang tidak jelas, karena maslahat menghendaki demikian.
Ulama yang banyak menggunakan isthsan adalah Abu Hanifah. Selain mazhab Hanafi, mazhab Maliki juga memakai istihsan, tetapi mereka menamakannya maslahah mursalah.sementara itu, Imam Al- Syafi’i menolak istihsan, sebagaimana pernyataannya, ‘’barang siapa yang berpegang kepada istihsan, berarti ia telah membuat syariat sendiri.’’ Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang penggunaan istihsan, pemakaiannya hanya berlaku apabila penetapan hukum dengan qiyas akan mengakibatkan kejanggalan dan ketdakadilan.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan Hanabillah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, alasannya adalah pada firman Allah SWT :
‘’yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal’’ ( Q.S Az-Zumar : 18 )
Adapun kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil yaitu Imam Syafi’i, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah adalah ulama yang menolak penggunaan Istihsan dalam metode istimbatnya,beliau memiliki beberapa alasan, diantaranya:
a.       Al-quran, pada Q.S Al-Maidah : 49
b.      Hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan Al-quran dan Hadis, serta pemahaman dari nash melalui kaidah ijma’ dan qiyas, sedangkan istihsan tidak didasarkan keempat hal itu
c.       Istihsan ditengarai Imam Syafi’i merupakan metode penetapan hukum yang hanya mengandalkan nafsu semata, tanpa merujuk kenash, sehingga beliau cenderung tidak menggunakannya dalam menetapkan sebuah hukum
d.      Beliau takut melampaui batas, sebab amat sangat sulit menentukan kriteria baik dan buruk, mengingat istihsan adalah metode istimbat yang dilandaskan asas baik buruknya sesuatu.

6.      Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah ialah maslahat yang tidak disebut dalam hukum. Hukum ditetapkan untuk keselamatan umum dan akan mengalami perubahan sesuai dengan berkembangnya zaman.ulama Malikiyyah dan Hanabillah menerima Maslahah Mursalah sebagai  dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapannya. Untuk menjadikan Maslahah Mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyyah dan Hanabillah bertumpu pada praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan Al-quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka tidak lain untuk menjaga Al-quran dari kepunahan karena banyak hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, ‘’ Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya’’ ( Q.S Al-Hijr ). Adanya maslahah berarti sama dengan merealisasikan Maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib emenggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
Sedangkan dari golongan Syafi’i dan Hanafi tidak menganggap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukkannya kedalam bab qiyas.
Para jumhur ulama berbeda pendapat mengenai  maslahah mursalah sebagai sumber hukum. Jumhur menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
a.       Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihakan kemaslahatan umat manusia.
b.      Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
c.       Akan melahirkan perbedaan hukum akibat perbedaan suatu wilayah atau  Negara.
Imam Malik memperbolehkan berpegang teguh kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’i boleh berpegang kepada maslahah mursalah apabila sesuai dengan dalil qulli atau dalil juz’y dari syara’.pendapat kedua ini berdasarkan :
a.       Kemaslahahtan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’i ( Allah SWT ), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
b.      Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i, misalnya membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-quran dan sebagainya.

7.      Urf
‘urf artinya adat atau tradisi masyarakat setempat yang tidak bertentangan dengan Al-quran dan hadis. Imam Malik banyak memakai ‘urf Madinah sebagai sumber hukum.demikian juga Imam Al-Syafi’i.
Oleh ulama Hanafiyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyas khafi ( qiyas yang tidak ditemukannya ‘illah secara jelas ) dan juga didahulukan atas nash yang umum. Ulama Malikiyyah juga demikian, menjadikan ‘urf yang hidup dikalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.

8.      Istishhab
Istishhab adalah berpegang pada hukum semula selama tidak timbul perubahan. Segala sesuatu di ala mini memiliki hukum ibahah ( boleh ) selama tidak ada dalil Al-quran, hadis, atau dalil yang membatalkannya.
Ulama yang menerima istishhab dapat dibedakan menjadi tiga :
a.       Jumhur ulama yang dipelopori oleh Imam Malik, sebagai ulama Syafi’iyah, dan Hanafiah berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah syari’iyyat ketika tidak ada dalil dari Al-quran, As-sunnah, ijma’, dan qiyas.
b.      Sebagian ulama Hanafiah dan sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa istishhab bukanlah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekadar mengetahui hukum masa lalu sedangkan untuk menentukan hukumnya sekarang ini.ia memerlukan dalil.
c.       Kebanyakan ulama Hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menentukan ( dirinya sendiri ) dan bukan untuk menetapkan yang lain.
Sedangkan ulama yang menolak kehujjahan istishhab berargumen bahwa penentuan halal, haram, sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil itu tidak didapat kecuali dari syar’i.
           
9.      Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Nabi Muhammad SAW. Hokum untuk ahli kitab init tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sumber ini terutama dipakai oleh golongan ulama Hanafiyyah. Contoh syar’u man qablana, diantaranya adalah berpuasa, berkurban, qishash, dan hukuman untuk pencuri.

B.     Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Pada Sumber Hukum
Berikut ini faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat pada sumber hukum.
1)      Perbedaan menilai shahih
Keshahihan suatu hadis kadang-kadang diperdebatkan ulama.ada ulama yang menerima keshahihan suatu hadis dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai ke-tsiqahan-an seorang perawi. Tidak hanya itu, matan dan sanad suatu hadis juga menjadi bahan pertimbangan. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu hadis sebagai hujjah karena perawinya dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya hadis tersebut ditolak karena perawinya tidak dapat dipercaya.
2)      Perbedaan dalam memahami nash
Dalam suatu nash, Al-quran maupun hadis, kadang-kadang terdapat kata yang mengandung makna ganda ( musytarak ) dan majasi ( metafora ), sehingga arti yang terkandung didalamnya tidak jelas. Terhadap nash yang demikian ini, ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya, kata quru’ dalam Q.S Al-Baqarah 2 : 228 ) yang mempunyai dua arti, yaitu maha suci dan masa haid.disamping adanya makna gsnda dan majasi, perbedaan pemahaman juga menyebabkan perbedaan dalam memahami nash.
3)      Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath
Dalam memilih suatu hadis atau mencari suatu dalil, para mujtahid mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu hadis dapat dijadikan hujjah oleh seorang mujtahid, tetapi ditolak oleh mujtahid lain. Hal ini disebabkan perbedaan sudut pandang. Ada mujtahid yang mengambil perkataan sahabat dalam memecahkan masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya. Begitu pula dengan amaliah penduduk Madinah, ada mujtahid yang menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menolaknya. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan suatu hukum.
4)      Perselisihan tentang ‘illat suatu hokum
Perselisihan para mujtahid mengenai ‘illat suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqh.

            Ulama mazhab berbeda-beda dalam menentukan sumber hukum Islam. Berikut ini letak perbedaan tersebut.
a)      Abu Hanifah : Al-quran, sunnah, ijma, qiyas, dan istihsan
b)      Malik : Al-quran, sunnah, ijma’, amaliah ahli Madinah, dan maslahah mursalah
c)      Ahmad bin Hanbal : Al-quran, sunnah, ijma’, qiyas, dan fatwa sahabat.


C.    Perbedaan Pendapat Dan Pengaruhnya Bagi Tasyri’
ada tiga hal mendasar mengenai perbedaan pendapat dikalangan ulama mujtahidin. Perbedaan tersebut terletak pada dasar-dasar tasyri’, kecenderungan ber-istinbath, dan prinsip bahasa.

1        Perbedaan Hadis dan Pengaruhnya dalam Tasyri’
Abu Hanifah dan ashhab-nya berhujjah dengan hadis mutawatir dan masyhur saja. Merekapun menarjih hadis dari fuqaha yang terpercaya. sedangkan, kelompok selain Hanafiyyah berhujjah dengan hadis dari perawi yang adil dan terpercaya, dari kalangan fuqaha atau bukan, baik sesuai dengan amalan ahli Madinah maupun tidak. Hanafiyyah menetapkan masyhur ditempat mutawatir sebagai penakhsis Al-quran yang umum dan pen-taqyid yang mutlak. Sedangkan, ulama lain tidak memberi kekuatan mutawatir bagi masyhur dan berhujjah dengan Hadis mursal. Adapun pengaruhnya dalam yasyri’, yaitu menimbulkan perbedaan pendirian dalam menerima atau menolak suatu hadis sekaligus memunculkan perbedaan pandangan antara hadis yang unggul
dan yang lema.
2        perbedaan dalam kecenderungan ber-istinbath
berikut ini letak perbedaan ulama dalam ber-istinbath.
a)      Imam Malik, mengambil fatwa yang dipandang kuat, tidak terpaku pada fatwa satu orang saja, dan tidak mau menyalahi fatwa.
b)      Al-Syafi’I, terkadang mengambil salah satu fatwa sahabat, tetapi terkadang berfatwa menyalahi fatwa sahabat.
c)      Golongan Syiah dan Zhahiriyah menolak qiyas, sedangkan jumhur ulama menerimanya, sekalipun terjadi perbedaan dalam menetapkan ‘illat.

3        Perbedaan Dalam Bahasa
Al-Syafi’i dalam kitabnya, Al-Umm juz VII, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Al-Khudhari Bik, menjelaskan bahwa perintah didalam Al-quran dan hadis mengandung makna yang beragam. Berikut ini penjelasannya.
a)      Makna boleh, yaitu datangnya perintah setelah larangan. Misalnya, perintah berburu bagi yang sudah selesai tahallul ( Q.S Al-Ma’idah 5 : 2 ) dan perintah mencari rezeki setelah laragan jual-beli pada hari Jumat ( Q.S Al-Jumu’ah 62 : 9-10 ).
b)      Makna petunjuk, seperti petunjuk menikahkan orang yang masih berstatus lajang dan layak untuk menikah ( Q.S Al- Nur 24 : 32 )
c)      Makna wajib, misalnya, perintah shalat, zakat, dan haji ( Q.S Al-Taubah 9 : 103 )
Sebenarnya diantara para Imam mazhab sendiri tidak ada satupun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan. Bahkan, diantara mereka tidak ada yang menyuruh orang lain untuk mengikuti mazhabnya, karena mereka menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan sifat lupa.


 













[1] Majid, Abdul Khon, Tharikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam Dari Masa ke Masa ( Jakarta : AMZAH, 2013 ), hlm 102
[2] Muhammad Al- khudri Bik, Tarihk Al Tasyri’ Al-Islami
[3] Zen, Amirudin, Ushul Fiqih ( Surabaya : Elkaf. 2006 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar