BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam adalah Al-quran,
sunnah, ijma’, qiyas, mashlahah mursalah,
istihsan, ‘urf, istishhab, dan syar ‘u man qablana. Secara umum, sumber
hukum Islam ada yang disepakati (
muttafaq ‘ alaih atau mujma alaih
) dan ada yang diperselisihkan ( mukhtalaf
fih ). Sumber yang keasliannya telah terbukti yang datangnya langsung dari
Allah atau yang telah disepakati oleh para ulama yaitu Al-quran dan sunnah atau
hadist, sedangkan sumber hukum selain Al-quran dan hadist hingga saat ini masih
dalam perselisihan para ulama. Berikut adalah beberapa sumber hukum Islam yang
akan diuraikan satu persatu dibawah ini.
1.
Al-quaran
Al-quran
adalah wahyu yang diturunkan langsung dari Allah melalui malaikat Jibril kepada
nabi Muhammad SAW.oleh karena itu tidak ada perselisihan antara ulama tentang
Al-quran melalui eksistensinya atau keberadaannya. Karena hal itu sudah jelas
kedatangannya. Sebagai kitab suci sepanjang zaman, Al-quran memuat informasi
dasar berbagai masalah termasuk informasi mengenai hukum, etika, science,
antariksa, kedokteran dan sebagainya.hal ini merupakan salah satu bukti bahwa
kandungan Al-quran bersifat luas dan luwes. Sebagai sumber hukum Islam pertama
dan utama, Al-quran berperan penting dalam rangka penetapan hukum Islam
terutama setelah meninggalnya Rasullullah SAW.
Dalam
Al-quran ada beberapa ayat yang dalalah-nya
bersifat zhanni. Misalnya, suatu kata
mempunyai makna lebih dari satu yang disebut dengan lafal musytarak. Misalnya :
Dan bagimu ( suami-suami ) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu. Jika mereka tidak mempunyai
anak.
( Q,S Al-Nisa 4 : 12 )
Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik ( berbuat zina ) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang-orang saksi, maka deralah mereka ( yang menuduh itu ) delapan puluh
kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan
mereka itulah orang-orang yang fasik ( Q,S Al-Nur 24 : 4 )
Dua
ayat telah jelas dalam hal penjelasannya tentang hukuman bagi mereka yang telah
menuduh seorang wanita tanpa bukti yang jelas maka mendapatkan pukulan sebanyak
delapan puluh kali pukulan. Dan juga, pembagian harta dalam perspektif Islam
yang baik.
Akan
tetapi, dalam ayat-ayat berikut, ulam berbeda pendapat.
Wanita-wanita yang duduk hendaklah
menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru’. ( Q.S
Al-Baqarah 2 : 228 )
Imam
Malik dan Al-Syafi’i mengartikan quru’dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah
mengartikannya dengan masa haid. Hal serupa juga terjadi pada ayat berikut.
Atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik ( suci ), sapulah mukamu dan tanganmu.
( Q.S Al-Nisa 4 : 43 )
Ulama
berbeda pendapat mengenai kata menyentuh.ImamMalik
mengartikannya dengan pergaulan suami-istri. Sementara itu, Imam Al-Syafi’I
mengartikannya dengan persentuhan kulit antara laki-laki perempuan yang bukan
mahram tanpa ada sesuatu yang menghalanginya. Dengan perbedaan pendapat
tersebut, berpengaruh pada ketetapan hukum.[1]
Perbedaan
masalah quru’ pada wanita, Allah Maha
tahu mengenai perbedaan ini. Namun Allah SWT tidak mengatakan dengan sharih apa
yang dimaksudkan dengan kata-kata quru’.
Kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih
kata yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata quru yang mengandung dua arti secara
bahasa Arab. Ada ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih
kata quru’ sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Ini
menunjukkan bahwa Allah SWT dengan hikmah-Nya memang menghendakinya adanya
perbedaan pendapat dikalangan para mujtahid dalam masalah itu.
Akibat
perbedaan lafaz quru’ ini, sebagian
sahabat ( Ibnu Mas’ud dan Umar ) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah
mandi dari haidnya yang ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yang lain, memandang bahwa
dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya ( meskipun
belum mandi ). Lihatlah, bahkan para sahabat nabi pun berbeda pendapat dalam
hal ini.
2.
Sunnah
Ulama
sepakat bahwa sunnah sumber tasyri’ yang kedua setelah Al-quran. Dalam sunnah
juga terdapat teks yang tegas dan teks yang tidak tegas. Demikian juga dalam
proses periwayatan hadist mutawatir
yang disepakati ulama sebagai sumber hukum.diantara para ulama ada yang menolak
hadis ahad, karena tidak memberikan faedah ilmu. Berbicara mengenai hal ini,
imam Al-Syafi’i berpendapat sebagai berikut.
a. Hadis
yang diriwayatkan orang banyak dari orang banyak disebut hadis mutawatir.
b. Jika
terjadi perbedaan penakwilan kitab maka dikembalikan makna lahir dan umum,
kecuali jika ada ijma’ ulama.
c. Jika
terjadi perbedaan, dikembalikan kepada kesepakatan kaum muslimin dan
periwayatan ijma’ kaum sebelumnya.
d. Periwayatan
orang khusus ( hadis ahad ) dijadikan hujjah
jika aman dari kesalahan.[2]
Sementara itu, Abu Hanifah menerima
hadis ahad dengan menerapkan persyaratan yang ketat. Ia dan fuqahanya
mensyaratkan sebagai berikut.
a. Hadis
tidak berkaitan dengan masalah ujian atau urusan umum ( ‘umum al-balwa ), sebab yang demikian harus diriwayatkan secara mutawatir.
b. Amal
periwayat tidak kontradiktif dengan periwayatannya. Namun jika ternyata
kontradiktif, maka yang dipakai adalh pengamalannya.
c. Jika
periwayat tidak faqih, hadis menyalahi qiyas dan kaidah-kaidah syara’.
d. Hadis
tidak menyalahi teks Al-quran, hadis mutawatir, dan ijma’.
Ulama Hanafiyah menolak hadis ahad
tentang menyentuh alat vital serta mengangkat kedua tangan kedua ketika akan
dan bangun dari ruku’, karena masalahnya harus diketahui umum. Mereka juga
menolak hadis Aisyah tentang keharusan wali dalam nikah, karena ia sendiri
tidak mengamalkannya. Ketika putri Abdurrahman bin Abu Bakar dinikahkan,
ayahnya sedang berada di Syam. Mereka juga menolak hadis Sa’ad bin Abi Waqqash tentang jual-beli kurma
kering dengan kurma basah, karena ia tidak dianggap faqih.
Ulama berbeda dalam menerima sunnah
sebagai sumber hukum Islam. Berikut ini penjelasannya.
a. Abu
Hanifah dan ashhab-nya hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur kemudian
menarjihkan hadis-hadis dari fuqaha kepercayaan.
b. Imam
Malik dan ashhab-nya menarjihkan hadis-hadis yang diriwayatkan ulama Madinah
dan meninggalkan hadis ahad yang menyalahi amalan penduduk Madinah.
c. Imam-Imam
lain berhujjah dengan hadis yang diriwayatkan perawi yang adil dan terpercaya,
dari kalangan fuqaha atau bukan, baik sesuai dengan amalan penduduk Madinah
maupun tidak.
d. Ulama
Irak menempatkan hadis masyhur di
tempat mutawatir sebagai penakhsis
dan pen-taqyid Al-quran, sementara
ulama lain tidak.
e. Sebagian
ulama tasyri’ berhujjah dengan hadis mursal, sedangkan yang lain tidak.
Dasar perbedaan tentang status
hadis di kalangan Imam mujtahid berpokok pangkal pada tiga persoalan, yaitu :
a. Perbedaan
dalam penetapan sumber perundang-undangan
b. Perbedaan
dalam pengmbilan hokum dari perundang-undangan, dan
c. Perbedaan
dalam sebagian prinsip bahasa yang diterapkan.
Sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah
SAW. Yang menonjol antara lain :
a. Perbedaan
dalam penerimaan hadis. Sampai atau tidaknya suatu hadis kepada sebagian
sahabat.seperti dima’lumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (
meriwayatkan hadis ), kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri
majelis Rasul, tentunya mereka inilah yang banyak menerima hadis sekaligus
meriwayatkannya.
b. Perbedaan
dalam menilai periwayatan hadis ( shahih
atau tidaknya ) adakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadis
shahih, sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi
semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi
sanad, maupun matannya.contoh dari segi sanad, adalah seperti hadis yang
dijadikan dasar oleh Imam Syafi’i tentang wajibnya membaca Al-fatihah bagi
ma’mum dalam shalat.
c. Perbedaan
tentang kedudukan Rasulullah SAW, sebagaimana dimaklumi, bahwa Rasul disamping
keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa ( Q.S Al-Kahfi : 110 ).
Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai kepala Negara
dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak
sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika
melakukannya.
Para mujtahid Irak, yaitu Abu
Hanifah dan kawan-kawannya hanya berhujjah dengan sunah mutawatir dan sunnah
masyhur saja. Syiah hanya menerima hadis yang diriwayatkan oleh para Imam
mereka, karena menurut mereka orang yang tidak mendukung Ali tidak tsiqah ( tidak dapat dipercaya ).
3.
Ijma’
Ijma’
ialah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi mengenai hukum suatu
peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan penetapan hukum,
ulama mengkaji masalah tersebut dan menyepakati hukumnya.
Ijma’
merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-quran dan hadis. Akan tetapi,
mazhab Al- Zhahiriyyah menolak hal tersebut. Alasannya adalah bahwa ijma’ tidak
mungkin terjadi dikalagan fuqaha karena ketentuan yang ada di dalam Al-quran dan
hadis telah mencakup segala segmen kehidupan manusia. Menurut Al-Syafi’i, ijma’
hanya terjadi pada hal yang diketahui secara umum, seperti shalat fardhu. Ia
juga berhujjah dengan periwayatn hokum dari ulama salaf. Sementaa itu, Imam
Ahmad bin Hanbal tetap mengakui adanya ijma’, tetapi khusus pada masa sahabat. Ulama
Hanafiyah banyak menyebut ijma’sukuti.
Maknanya yaitu seorang menjawab dan yang lain diam, tetapi berpendapat yang
sama.
Sekalipun
sebagian kelompok ada yang menolak kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum Islam,
namun argumen-argumen yang mereka ajukan kurang kuat. Kelompok yang menolak
adalah Syiah, Khawarij, dan sebagian Mu;tazilah. Mereka menolak ijma’ karena :
a. Tempat
tinggal para ulama mujtahid berjatuhan
b. Tidak
seluruh ulama mujtahid tersedia, dan
c. Tidak
ada kesepakatn tentang siapa sebenarnya ulama mujtahid itu.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa
kehujjahan ijma’ adalah zhanni, bukan qoth’i. oleh karena itu ijma’ hanya dapat
dipergunakan sebagai pegangan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai sebagai
pegangan dalam bidang akidah ( I’tiqad ), sebab urusan aqidah hanya berdasarkan
dalil yang qath’i.[3]
4.
Qiyas
Qiyas
adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada teksnya didalam Al-quran dan
hadis, tetapi mempunyai alasan ( illat )
yang sama. Dengan kata lain, membandingkan hukum suatu peristiwa yang belum ada
ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain ynag sudah ada ketentuan hukum atau
dasar persamaan ‘illat.
Mayoritas
ulama menetapkan bahwa qiyas merupakan sumber hukum Islam yang keempat.
Meskipun demikian, ada juga ulama yang tidak mengakui qiyas, seperti ulama
Zhahiriyyahdan sebagian dari ulama Syiah. Argumen yang diajukan oleh golongan
penentang qiyas bukan berarti bahwa qiyas tidak dapat dilepaskan dari pembinaan
hukum Islam, sebab seiring dengan berjalannya waktu senantiasa muncul problem
baru yang tidak ditemukan nashnya dalam Al-quran dan hadis.
Berhubung
qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih paham. Pandangan
ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok :
a. Kelompok
jumhur. Mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum dari hal-hal yang tidak
jelas nashnya, baik dalm Al-quran, hadis, pendapat sahabat, maupun ijma ulama.
b. Mazhab
Zhahiriyyah dan Syiah Imamiyyah. Mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiriyyah tidak mengakui adanya ‘illat serta tidak berusaha mengetahi
sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya, guna menetapkan
suatu kepastian hukum. Mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash
semata.adapun Syiah Imamiyyah memperluas pemakaian qiyas karena adanya
persamaan ‘illat. Bahkan dalam
kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai penakhsis
dari keumuman Al-quran dan hadis.
Kedudukan qiyas sebagai sumber
hukum mendapatkan tanggapan yang beranggapan dikalangan ulama ushul fiqh.
a. Pendapat
jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode
atau sarana mengistinbatkan hukum syara’.
b. Pendapat
ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam Al- syawkani, bahwa secara logika, qiyas memang
diperbolehkan, tetapi tidak ada satu nash pun dalam Al-quran yang menyatakan
wajib melaksanakannya.
c. Pendapat
Syiah Imamiyyah dan Al- Nzhzhamm dariMu’tazilah, berpendapat bahwa qiyas tidak
bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban
mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.
d. Kelompok
yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah.
5.
Istihsan
Istihsan
artinya memandang lebih baik. Istihsan menentukan hukum bukan berdasarka qiyas
yang jelas, melainkan berdasarkan qiyas yang tidak jelas, karena maslahat
menghendaki demikian.
Ulama
yang banyak menggunakan isthsan
adalah Abu Hanifah. Selain mazhab Hanafi, mazhab Maliki juga memakai istihsan, tetapi mereka menamakannya maslahah mursalah.sementara itu, Imam
Al- Syafi’i menolak istihsan, sebagaimana
pernyataannya, ‘’barang siapa yang berpegang kepada istihsan, berarti ia telah membuat syariat sendiri.’’ Terlepas dari
perbedaan pendapat ulama tentang penggunaan istihsan, pemakaiannya hanya
berlaku apabila penetapan hukum dengan qiyas akan mengakibatkan kejanggalan dan
ketdakadilan.
Menurut
ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan Hanabillah, istihsan merupakan dalil yang kuat
dalam menetapkan hukum syara’, alasannya adalah pada firman Allah SWT :
‘’yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal’’ ( Q.S Az-Zumar : 18 )
Adapun
kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil yaitu Imam Syafi’i, Zhahiriyyah,
Syi’ah dan Mu’tazilah adalah ulama yang menolak penggunaan Istihsan dalam metode istimbatnya,beliau memiliki beberapa alasan,
diantaranya:
a. Al-quran,
pada Q.S Al-Maidah : 49
b. Hukum
syara’ itu ditetapkan berdasarkan Al-quran dan Hadis, serta pemahaman dari nash
melalui kaidah ijma’ dan qiyas, sedangkan istihsan tidak didasarkan keempat hal
itu
c. Istihsan
ditengarai Imam Syafi’i merupakan metode penetapan hukum yang hanya
mengandalkan nafsu semata, tanpa merujuk kenash, sehingga beliau cenderung
tidak menggunakannya dalam menetapkan sebuah hukum
d. Beliau
takut melampaui batas, sebab amat sangat sulit menentukan kriteria baik dan
buruk, mengingat istihsan adalah metode istimbat yang dilandaskan asas baik
buruknya sesuatu.
6.
Maslahah
Mursalah
Maslahah
Mursalah ialah maslahat yang tidak disebut dalam hukum. Hukum ditetapkan untuk
keselamatan umum dan akan mengalami perubahan sesuai dengan berkembangnya
zaman.ulama Malikiyyah dan Hanabillah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka
dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapannya. Untuk
menjadikan Maslahah Mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyyah dan Hanabillah
bertumpu pada praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah
diantaranya, saat sahabat mengumpulkan Al-quran kedalam beberapa mushaf.
Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong
mereka tidak lain untuk menjaga Al-quran dari kepunahan karena banyak hafidz
yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, ‘’
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-quran, dan sesungguhnya kami
benar-benar memeliharanya’’ ( Q.S Al-Hijr ). Adanya maslahah berarti sama
dengan merealisasikan Maqosid as-syari’.
Oleh karena itu, wajib emenggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber
hukum pokok yang berdiri sendiri.
Sedangkan
dari golongan Syafi’i dan Hanafi tidak menganggap maslahah mursalah sebagai
sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukkannya kedalam bab qiyas.
Para
jumhur ulama berbeda pendapat mengenai
maslahah mursalah sebagai sumber hukum. Jumhur menolaknya sebagai sumber
hukum, dengan alasan :
a. Bahwa
dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihakan
kemaslahatan umat manusia.
b. Pembinaan
hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu
bagi keinginan hawa nafsu.
c. Akan
melahirkan perbedaan hukum akibat perbedaan suatu wilayah atau Negara.
Imam Malik memperbolehkan berpegang
teguh kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’i boleh berpegang
kepada maslahah mursalah apabila sesuai dengan dalil qulli atau dalil juz’y
dari syara’.pendapat kedua ini berdasarkan :
a. Kemaslahahtan
manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.jika pembinaan hukum
dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’i ( Allah
SWT ), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan
tempat yang berbeda-beda.
b. Para
sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk
mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i, misalnya membuat
penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-quran dan
sebagainya.
7.
Urf
‘urf
artinya adat atau tradisi masyarakat setempat yang tidak bertentangan dengan
Al-quran dan hadis. Imam Malik banyak memakai ‘urf Madinah sebagai sumber hukum.demikian juga Imam Al-Syafi’i.
Oleh
ulama Hanafiyah, ‘urf itu didahulukan
atas qiyas khafi ( qiyas yang tidak
ditemukannya ‘illah secara jelas ) dan juga didahulukan atas nash yang umum.
Ulama Malikiyyah juga demikian, menjadikan ‘urf
yang hidup dikalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf
dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara’ maupun dalam
penggunaan bahasa.
8.
Istishhab
Istishhab
adalah berpegang pada hukum semula selama tidak timbul perubahan. Segala
sesuatu di ala mini memiliki hukum ibahah
( boleh ) selama tidak ada dalil Al-quran, hadis, atau dalil yang
membatalkannya.
Ulama
yang menerima istishhab dapat dibedakan menjadi tiga :
a. Jumhur
ulama yang dipelopori oleh Imam Malik, sebagai ulama Syafi’iyah, dan Hanafiah
berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah syari’iyyat ketika tidak ada
dalil dari Al-quran, As-sunnah, ijma’, dan qiyas.
b. Sebagian
ulama Hanafiah dan sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa istishhab
bukanlah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekadar mengetahui
hukum masa lalu sedangkan untuk menentukan hukumnya sekarang ini.ia memerlukan
dalil.
c. Kebanyakan
ulama Hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menentukan ( dirinya
sendiri ) dan bukan untuk menetapkan yang lain.
Sedangkan ulama yang menolak
kehujjahan istishhab berargumen bahwa penentuan halal, haram, sucinya sesuatu
memerlukan dalil yang dalil itu tidak didapat kecuali dari syar’i.
9.
Syar’u
Man Qablana
Syar’u man qablana
artinya syariat sebelum Nabi Muhammad SAW. Hokum untuk ahli kitab init tetap
berlaku asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sumber ini terutama
dipakai oleh golongan ulama Hanafiyyah. Contoh syar’u man qablana, diantaranya
adalah berpuasa, berkurban, qishash, dan hukuman untuk pencuri.
B.
Sebab-Sebab
Perbedaan Pendapat Pada Sumber Hukum
Berikut ini faktor-faktor penyebab
terjadinya perbedaan pendapat pada sumber hukum.
1) Perbedaan
menilai shahih
Keshahihan
suatu hadis kadang-kadang diperdebatkan ulama.ada ulama yang menerima
keshahihan suatu hadis dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena
mereka berbeda pendapat dalam menilai ke-tsiqahan-an
seorang perawi. Tidak hanya itu, matan dan sanad suatu hadis juga menjadi bahan
pertimbangan. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu hadis sebagai hujjah
karena perawinya dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya hadis tersebut
ditolak karena perawinya tidak dapat dipercaya.
2) Perbedaan
dalam memahami nash
Dalam
suatu nash, Al-quran maupun hadis, kadang-kadang terdapat kata yang mengandung
makna ganda ( musytarak ) dan majasi
( metafora ), sehingga arti yang terkandung didalamnya tidak jelas. Terhadap
nash yang demikian ini, ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya, kata quru’ dalam Q.S Al-Baqarah 2 : 228 )
yang mempunyai dua arti, yaitu maha suci dan masa haid.disamping adanya makna
gsnda dan majasi, perbedaan pemahaman juga menyebabkan perbedaan dalam memahami
nash.
3) Perbedaan
dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath
Dalam
memilih suatu hadis atau mencari suatu dalil, para mujtahid mempunyai cara
pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu hadis dapat dijadikan hujjah oleh
seorang mujtahid, tetapi ditolak oleh mujtahid lain. Hal ini disebabkan
perbedaan sudut pandang. Ada mujtahid yang mengambil perkataan sahabat dalam
memecahkan masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya. Begitu pula
dengan amaliah penduduk Madinah, ada mujtahid yang menjadikannya sebagai hujjah
dan ada pula yang menolaknya. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang
berbeda dalam menentukan suatu hukum.
4) Perselisihan
tentang ‘illat suatu hokum
Perselisihan
para mujtahid mengenai ‘illat suatu
hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqh.
Ulama
mazhab berbeda-beda dalam menentukan sumber hukum Islam. Berikut ini letak perbedaan tersebut.
a) Abu
Hanifah : Al-quran, sunnah, ijma, qiyas, dan istihsan
b) Malik
: Al-quran, sunnah, ijma’, amaliah ahli Madinah, dan maslahah mursalah
c) Ahmad
bin Hanbal : Al-quran, sunnah, ijma’, qiyas, dan fatwa sahabat.
C.
Perbedaan
Pendapat Dan Pengaruhnya Bagi Tasyri’
ada tiga hal mendasar mengenai
perbedaan pendapat dikalangan ulama mujtahidin. Perbedaan tersebut terletak
pada dasar-dasar tasyri’,
kecenderungan ber-istinbath, dan
prinsip bahasa.
1
Perbedaan
Hadis dan Pengaruhnya dalam Tasyri’
Abu
Hanifah dan ashhab-nya berhujjah dengan hadis mutawatir dan masyhur saja.
Merekapun menarjih hadis dari fuqaha yang terpercaya. sedangkan, kelompok
selain Hanafiyyah berhujjah dengan hadis dari perawi yang adil dan terpercaya,
dari kalangan fuqaha atau bukan, baik sesuai dengan amalan ahli Madinah maupun
tidak. Hanafiyyah menetapkan masyhur ditempat mutawatir sebagai penakhsis
Al-quran yang umum dan pen-taqyid yang
mutlak. Sedangkan, ulama lain tidak memberi kekuatan mutawatir bagi masyhur dan
berhujjah dengan Hadis mursal. Adapun pengaruhnya dalam yasyri’, yaitu
menimbulkan perbedaan pendirian dalam menerima atau menolak suatu hadis
sekaligus memunculkan perbedaan pandangan antara hadis yang unggul
dan
yang lema.
2
perbedaan
dalam kecenderungan ber-istinbath
berikut
ini letak perbedaan ulama dalam ber-istinbath.
a) Imam
Malik, mengambil fatwa yang dipandang kuat, tidak terpaku pada fatwa satu orang
saja, dan tidak mau menyalahi fatwa.
b) Al-Syafi’I,
terkadang mengambil salah satu fatwa sahabat, tetapi terkadang berfatwa
menyalahi fatwa sahabat.
c) Golongan
Syiah dan Zhahiriyah menolak qiyas, sedangkan jumhur ulama menerimanya,
sekalipun terjadi perbedaan dalam menetapkan ‘illat.
3
Perbedaan
Dalam Bahasa
Al-Syafi’i
dalam kitabnya, Al-Umm juz VII,
sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Al-Khudhari Bik, menjelaskan bahwa
perintah didalam Al-quran dan hadis mengandung makna yang beragam. Berikut ini
penjelasannya.
a) Makna
boleh, yaitu datangnya perintah setelah larangan. Misalnya, perintah berburu
bagi yang sudah selesai tahallul ( Q.S Al-Ma’idah 5 : 2 ) dan perintah mencari
rezeki setelah laragan jual-beli pada hari Jumat ( Q.S Al-Jumu’ah 62 : 9-10 ).
b) Makna
petunjuk, seperti petunjuk menikahkan orang yang masih berstatus lajang dan
layak untuk menikah ( Q.S Al- Nur 24 : 32 )
c) Makna
wajib, misalnya, perintah shalat, zakat, dan haji ( Q.S Al-Taubah 9 : 103 )
Sebenarnya diantara para Imam
mazhab sendiri tidak ada satupun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka
tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan. Bahkan, diantara mereka tidak
ada yang menyuruh orang lain untuk mengikuti mazhabnya, karena mereka menyadari
bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan sifat lupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar